Gading Simbol Perkawinan Lamaholot

 Masyarakat Lamaholot (Sikka, Flores Timur & Lembata) begitu kaya dengan gading, padahal tidak ada gajah. menurut penuturan lokal yang diturunkan secara mentradisi, gading ("BALA") itu berasal dari Barat, dibawa oleh para pedagang untuk ditukar dengan rempah-rempah dan hasil bumi di kawasan timur dengan bandar perdagangan di Maumere dan Larantuka. Di kedua pelabuhan ini para pedagang di samping mengisi air dan perbekalan, mereka juga mencari pekerja tambahan untuk dipekerjakan di perahu-perahu para pedagang tersebut. Sebagai imbalan, para pedagang menukarnya dengan "GADING". Seorang tenaga kerja biasanya ditukar dengan 5-10 gading. Gading di sini sebagai perngganti "tuber nafak" (JIWA RAGA) yang harus tetap di tempat itu. Jadi meskipun pekerja itu pergi, tetapi dia tetap dianggap masih ada di lingkungan suku dan desanya.

Para pemilik gading pada awalnya adalah kepala-kepala suku dan tuan-tuan tanah. terjadilah transaksi tukar-menukar dengan sarung tenunan adat atau sarung lain ("ketipa") yang nilainya seimbang, lama-kelamaan, peredaran "gading" di kalangan masyarakat menjadi ramai, maka berubalah fungsi "gading" dalam kehidupan masyarakat Flores Timur dan Sikka sebagai "BELIS PERKAWINAN". Gading/bala tidak hanya sebagai simbol/lambang calon pengantin tetapi juga sebagai simbol status kluarga pria dan wanita.

Demikian, gading menjadi simbol utama ritus perkawinan di Sikka dan khususnya masyarakat Lamaholot di Flores Timur dan Lembata. Sebuah perkawinan bahkan dinilai "aib", bila tanpa "GADING/BALA" yang diserahkan pihak pria ke pihak wanita. Jadi dapat dikatakan bahwa setiap suku mempunyai hatra "bala" karena hanya dengan harta inilah, setiap perkawinan dari anggota suku dengan anggota suku lainnya dapat diselenggarakan dengan baik. Umumnya "bala" disimpan di rumah adat, tetapi ada juga yang disimpan di rumah anggota suku/keluarga.

(disadur dari pelbagai sumber)