Memanggil Roh
Ikan (1)
Oleh Alfons Nedabang
BATAR. Demikian suku Fujon menamai tempat itu. Berada di bukit sekitar 1,5 Km dari perkampungan Lamalera. Untuk mencapai batar dengan berjalan kaki, butuh waktu sekitar dua jam. Waktu tempuh cukup lama karena jalannya mendaki, melintasi beberapa bukit.
Batar diyakini
sebagai tempat tinggal nenek moyang suku Fujon, tuan tanah di Desa Lamalera.
Dari sinilah ritual adat penangkapan ikan paus dimulai. Tempat itu diberi sesajen, diantaranya membakar tembakau, tuang tuak, menabur beras jagung giling serta memecah telur ayam. Syair adat juga mulai dikumandangkan dari tempat ini, sembari membunyikan gong.
Dari sinilah ritual adat penangkapan ikan paus dimulai. Tempat itu diberi sesajen, diantaranya membakar tembakau, tuang tuak, menabur beras jagung giling serta memecah telur ayam. Syair adat juga mulai dikumandangkan dari tempat ini, sembari membunyikan gong.
Peserta ritual
adat enam orang, dipimpin Agustinus Olak Fujon. Agus adalah generasi ketujuh
suku Fujon. Lima lainnya adalah Yeremias Bala, Arnoldus Gesi, Alexander Manu,
Gaspar Boli dan Marsianus Dua. Mereka adalah adik dan anak Agus Olak.
Dari lima peserta
itu, dua diantaranya memegang tombak, dan dua lainnya menenteng gong. Kepala
mereka dimahkotai dedaunan. Setiap mereka memakai singlet dengan bawaannya novi
(kain sarung).
Dari
batar, tuan tanah berjalan satu-satu menuruni bukit, lalu berhenti di Wato
Koteklema. Wato Koteklema adalah batu yang bentuknya menyerupai ikan paus.
Warnanya hitam. Panjang batu itu sekitar 10 meter, dengan lebar dua meter dan
tinggi sekitar 1,5 meter. Sama seperti di batar, di Wato Koteklema juga dibuat
sesajen.
Perjalanan
dilanjutkan menuju laut. Setiap kali perjalanan, syaratnya tidak boleh menoleh
atau melihat ke belakang. Syair adat pun tetap dirapalkan Agus Olak dan disahut
lainnya. Sebelum sampai di laut, mereka berhenti di empat tempat, dua tempat
diantaranya adalah rumah adat suku Fujon di Dusun Lamanu, Desa Lamalera A dan
lango kelake, rumah milik suku Bataona di Desa Lamalera B, sekitar 50 meter
dari pantai.
Menurut
Agustinus Olak, beberapa tempat persinggahan itu merupakan tempat
peristirahatan nenek moyang karena hidup mereka selalu berpindah-pindah tempat
(nomaden). Di setiap tempat persinggahan, mereka makan sirih pinang sembari
menenggak tuak.
Setelah
sampai di pantai, empat orang menceburkan diri ke laut, sebagai ritual
memanggil ikan. Sementara dua orang pemegang tombak menanti di pantai. Upacara
berakhir ketika empat orang itu keluar dari laut dan berkumpul di depan Kapela
Santo Petrus dan Paulus yang ada di pantai.
Seremoni adat dengan tujuan memanggil roh ikan paus, yang diselenggarakan Jumat (1/5/2009) dari pagi hingga siang itu, dikenal dengan sebutan iyegerek. Ritual ini dimulai dari gunung karena masyarakat Lamelera meyakini bahwa ikan paus sesungguhnya berasal dari gunung. Paus adalah perwujudan dari nenek moyang yang memberikan diri sebagai makanan.
Seremoni adat dengan tujuan memanggil roh ikan paus, yang diselenggarakan Jumat (1/5/2009) dari pagi hingga siang itu, dikenal dengan sebutan iyegerek. Ritual ini dimulai dari gunung karena masyarakat Lamelera meyakini bahwa ikan paus sesungguhnya berasal dari gunung. Paus adalah perwujudan dari nenek moyang yang memberikan diri sebagai makanan.
Sebelumnya,
Kamis (30/4/2009), juga dilaksanakan seremoni adat di lango kelake. Tujuannya
untuk perdamaian. Kalau ada tutur kata, sikap dan perbuatan yang salah,
termasuk perbedaan pendapat soal konservasi, diselesaikan. Permasalahan harus
diselesaikan sebelum dimulainya misa arwah dan misa lefa.
Pihak-pihak yang terlibat adalah tuan tanah suku Fujon dan
suku Tufan serta lika telo yang meliputi suku Bataona, Blikololong dan
Lewotukan. Meski yang hadir suku Fujon dan suku Bataona, ritual adat tetap
dilaksanakan, diakhiri dengan minum darah ayam.
Bagi
masyarakat Lamalera, perdamaian harus terjadi sebelum dimulai penangkapan ikan
paus. Jika tidak, maka akan berpengaruh pada hasil tangkapan di laut. Ada
ceritra, beberapa waktu lalu, pernah terjadi perselisihan antara tuan tanah dan
lika telo. Akibatnya, selama tiga tahun nelayan tidak menangkap ikan paus.
Namun, setelah berdamai, hasil tangakap banyak. Ini menandakan masyarakat
Lamalera meyakini bahwa hubungan antara yang di darat dan di laut merupakan
hubungan sebab akibat. Keduanya saling mendukung dan saling menentukan. Oleh
karena itu, harmoni harus tercipta sebelum memasuki musim lefa atau olanua.
Prosesi
ritual tradisi sebelum musim lefa ini menjadi menarik karena mendapat bentuk
baru dengan upaya inkulturasi dari gereja Katolik. Setelah upacara iyegerek,
digelar misa arwah di Kapela Santo Petrus dan Paulus di pantai pada Jumat
(1/5/2009) sore. Jauh sebelumnya, selama tiga hari berturut-turut (27-29 April
2009) telah dilaksanakan sembayang. Masyarakat menyebutnya dengan Tridum.
Misa lefa dipimpin Rm. Bartolomeus Na Helan, Pr, pastor pembantu, dengan ujud mendoakan para nelayan yang telah meninggal. Selesai upacara ekaristi, Romo Bartol mengarahkan umat menghadap ke laut sambil memegang lilin bernyala di tangan. Bersamaan dengan itu, dibacakan nama-nama nelayan yang meninggal di laut. Perayaan misa arwah ditutup dengan penaburan bunga di laut dan pemasangan lilin. Masyarakat Lamalera percaya, jika orang yang sudah meninggal tidak diperhatikan maka arwahnya akan marah.
Misa lefa dipimpin Rm. Bartolomeus Na Helan, Pr, pastor pembantu, dengan ujud mendoakan para nelayan yang telah meninggal. Selesai upacara ekaristi, Romo Bartol mengarahkan umat menghadap ke laut sambil memegang lilin bernyala di tangan. Bersamaan dengan itu, dibacakan nama-nama nelayan yang meninggal di laut. Perayaan misa arwah ditutup dengan penaburan bunga di laut dan pemasangan lilin. Masyarakat Lamalera percaya, jika orang yang sudah meninggal tidak diperhatikan maka arwahnya akan marah.
Di
hari pelaksanaan misa arwah, masyarakat Lamalera tidak melaut. Bunyi-bunyian
juga tidak terdengar. Desa Lamalera A dan Lamalera B yang terletak di kaki
bukit gopo, bedilolo dan bukit kapasono, itu sunyi.
"Masyarakat menyakini bahwa saat itu arwah nenek moyang datang. Tanda-tanda kedatangan arwah tercium lewat bau terumbu karang," kata Dion Bediona.
"Masyarakat menyakini bahwa saat itu arwah nenek moyang datang. Tanda-tanda kedatangan arwah tercium lewat bau terumbu karang," kata Dion Bediona.
Keesokan
harinya, Sabtu (2/5/2009) pagi, bertempat di kapela, digelar misa lefa dipimpin
Rm. Yacobus Adobala Dawan, Pr, pastor paroki. Misa lefa menandai memulai musim
turun ke laut. Upacara berlanjut dengan pemberkatan laut dan peledang (perahu
yang digunakan untuk menangkap ikan paus). Pastor memercikkan air pada peledang
Praso Sapang. Usai diberkat, Praso Sapang didorong ke laut dan berlayar
menangkap ikan paus. Sebelum Praso Sapang melaut, air laut dianggap 'steril'.
Satu kejadian di hari misa lefa, sebuah speed boat yang mengangkut turis hendak
menepi tapi diusir masyarakat yang dimotori Kepala Desa Lamalera A, Hendrikus
Keraf. Speed boat memutar haluan, lalu bergerak menjauh meninggalkan laut
Lamalera.
Hal
lainnya yang dilarang adalah ikan paus yang muncul pada hari misa arwah dan
waktu misa lefa, tidak ditangkap. Bagi masyarakat Lamalera, kemunculan ikan
paus pada saat-saat itu pertanda baik.
Selanjutnya, Romo Yakobus memberkati satu per satu peledang yang tertambat di rumah peledang (naje). Ada 37 naje di pantai sepanjang sekitar 150 meter itu. Sembilanbelas naje dibangun di sisi kiri kapela dan sisanya di sisi kanan. Peledang-peledang itu bisa melaut setelah peledang Praso Sapang pulang.
Misa lefa merupakan upacara puncak penangkapan ikan paus. Setelah misa lefa, masyarakat Lamalera selama tiga bulan ke depan (Mei-Oktober) mengawasi Laut Sawu. Apabila melihat semburan paus, maka masyarakat akan berteriak bersahut-sahutan "baleo..., baleo..., baleo..." Peledang pun segera didorong ke laut untuk mengejar ikan paus.*
Selanjutnya, Romo Yakobus memberkati satu per satu peledang yang tertambat di rumah peledang (naje). Ada 37 naje di pantai sepanjang sekitar 150 meter itu. Sembilanbelas naje dibangun di sisi kiri kapela dan sisanya di sisi kanan. Peledang-peledang itu bisa melaut setelah peledang Praso Sapang pulang.
Misa lefa merupakan upacara puncak penangkapan ikan paus. Setelah misa lefa, masyarakat Lamalera selama tiga bulan ke depan (Mei-Oktober) mengawasi Laut Sawu. Apabila melihat semburan paus, maka masyarakat akan berteriak bersahut-sahutan "baleo..., baleo..., baleo..." Peledang pun segera didorong ke laut untuk mengejar ikan paus.*
![]() |
| Batu Paus/Batu Koteklema |
![]() |
| Misa Leva |
Puasa Hubungan Suami Istri (2)
PLEDANG bukan perahu biasa, sebagaimana kebanyakan perahu milik nelayan lainnya di sejumlah daerah. Setidaknya, hal ini diketahui dari proses pembuatannya hingga tata cara pemanfaatannya.
Pledang terbuat dari kayu krapa, sejenis kayu besi. Dikerjakan orang khusus, atamola. Pledang tidak dibuat sembarang, termasuk sambungan kayu atau papan dan pemasangan ketilo. Hal yang dilarang adalah ketilo tidak boleh sebaris, tapi harus selang-seling. Sebelum pledang dicat, atamola harus dipanggil kembali untuk memastikan tidak ada yang salah dalam proses pembuatannya.
Jika pledang dibuat salah atau keliru, maka akan membawa dampak buruk terhadap proses penangkapan. Kesalahan itu akan ditunjuk oleh ikan paus dengan 'mengetuk' pledang. Dalam konteks ini, paus dianggap sebagai cermin. Setelah itu, nanti sampai di darat baru atamola dipanggil untuk memperbaiki pledang.
"Kesalahan
pledang akan ditunjuk paus. Paus pukul pledang. Setelah pulang baru diperbaiki.
Paus sebagai cermin besar. Kalau tidak ada kesalahan, maka pledang dianggap
lulus ujian," kata Frans Kedang, matros (anak buah) pledang Tite Keri.
Untuk
menyelesaikan satu pledang, memakan waktu lebih dari satu bulan. Meski
demikian, setiap tahun belum tentu ada pledang baru. Panjang pledang sekitar 10
meter. Kru pledang berkisar sembilan sampai 13 orang. Setiap pledang dibagi
untuk tempat duduk juragan, matros dan tempat lamafa.
Pledang bukan satu-satunya peralatan tradisional yang digunakan. Peralatan lainnya adalah layar, tali yang dibuat dari benang kapas, daun gebang dan serat kulit pohon waru. Ada juga kafe yaitu tempuling atau harpoon, galah terbuat dari bambu sebagai tempat menancapkan harpoon untuk menombak. Alat untuk menggayung air, gentong air, maupun faye (alat untuk mendayung). Semua perlengkapan ini disiapkan dan diletakkan dalam pledang, di tempatnya masing-masing. Dalam satu pledang terdapat enam tempuling dan satu kenate. Tempuling untuk menikam paus, sedangkan kenate untuk menarik paus merapat ke pledang.
Pledang bukan satu-satunya peralatan tradisional yang digunakan. Peralatan lainnya adalah layar, tali yang dibuat dari benang kapas, daun gebang dan serat kulit pohon waru. Ada juga kafe yaitu tempuling atau harpoon, galah terbuat dari bambu sebagai tempat menancapkan harpoon untuk menombak. Alat untuk menggayung air, gentong air, maupun faye (alat untuk mendayung). Semua perlengkapan ini disiapkan dan diletakkan dalam pledang, di tempatnya masing-masing. Dalam satu pledang terdapat enam tempuling dan satu kenate. Tempuling untuk menikam paus, sedangkan kenate untuk menarik paus merapat ke pledang.
Pemilik
pledang adalah suku. Umumnya satu suku satu pledang. Ada juga suku yang
memiliki lebih dari satu pledang. Sebaliknya, ada suku yang tidak punya
pledang. Untuk pledang baru, sebelum beroperasi harus dibuat seremoni dengan
memberi makan masyarakat satu kampung.
Martinus
Lelaona mengatakan, setiap orang yang makan bagian di pledang, seperti lamafa,
juragan dan matros, masing-masing menanggung bahan makanan, diantaranya tuak,
nasi dan jagung titi serta binatang. Suku pemilik pledang juga menyiapkan
makanan. Tidak selesai di sini. Pledang baru bersama pledang lain akan
diberkati oleh pastor pada upacara misa lefa.
Selanjutnya,
saat ada baleo....,pledang bergerak ke tengah laut, ke arah semburan ikan paus.
Lamafa bersiap di depan. Semakin dekat, orang pledang sudah bisa menetapkan di
mana keberadaan kelompok paus tersebut. Para nelayan sudah bisa mengetahui paus
yang akan ditikam.
Kalau
sampai di tempat yang ditandai, kelompok ikan paus tersebut tiba-tiba
menghilang ditelan laut, itu artinya rezeki belum datang. Atau, pada saat
lamafa akan menghujamkan tempuling, paus mengangkat ekornya, maka lamafa akan
urung melompat menikam paus tersebut. Orang pledang meyakini paus menolak untuk
ditikam.
Namun,
apabila paus menyerahkan diri, maka dengan sigap lamafa menghujamkan tempuling
ke tubuh paus. "Serentak di dalam perahu bersorak. Hirkae, lefo hirkae.
Sorakan ini akan mengecilkan nyali paus," kata Martinus.
Ketika
paus sudah tidak berdaya, para nelayan mengikat hidungnya dengan kenate yang
tersambung tali plastik. Kemudian, paus itu diseret ke pantai. Dalam perjalanan
pulang, demikian Martinus, para nelayan bernyanyi bersahutan, sora tarre bala
(raksasa bertanduk gading), dan dijawab, tala lefo rae tai (mari kita masuk
kampung).
Sepanjang
musim lefa, pledang tidak mendapat hasil apa pun kalau di suku ada anak gadis
hamil atau pemuda menghamili gadis di luar nikah. Pantangan lainnya adalah
orang pledang termasuk lamafa harus puasa seks.
"Selama
musim lefa, kami tidak melakukan hubungan suami istri. Ini pantangannya. Kalau
dilanggar maka akan ada dampaknya saat proses penangkapan," ujar Aloysius
Genesa Tapaona, lamafa.
Selain terikat pada tradisi dan tata cara adat yang mencakup pembuatan pledang, penyiapan peralatan perahu, alat penangkap ikan, proses turun ke laut serta pantangan-
Selain terikat pada tradisi dan tata cara adat yang mencakup pembuatan pledang, penyiapan peralatan perahu, alat penangkap ikan, proses turun ke laut serta pantangan-
Selain
untuk makan, ikan paus juga digunakan sebagai alat transaksi. Ikan dibarter
dengan hasil-hasil pertanian yang dibawa masyarakat dari gunung. Begitu tersiar
kabar paus ditangkap, berbondong-bondong orang gunung yang pekerjaannya bertani
turun ke pantai. Mereka membawa hasil pertanian seperti jagung, ubi dan kacang
untuk ditukar dengan daging paus. Misalnya, tiga lempeng dendeng ikan paus
seharga satu piring jagung yang sudah dipipil. Transaksi dilakukan tidak ada
tawar menawar.
Kulit ikan paus juga dimakan. Sementara minyaknya bisa untuk minyak goreng dan pengganti minyak tanah. Satu-satunya bagian yang sampai sekarang belum dimanfaatkan optimal adalah tulang ikan paus. Kebanyakan tulang ikan paus dibuang, bahkan ada yang menjadikannya pagar rumah.
Masyarakat Lamalera meyakini bahwa dengan menangkap ikan paus, dapat menghidupkan seluruh masyarakat Lamalera. Dengan ikan paus, masyarakat Lamalera dapat menyekolahkan anak-anak mereka hingga perguruan tinggi. Lebih dari itu, dalam nama kulit, darah, daging, dan minyak ikan paus, setiap orang di Lamalera dan sekitarnya bersatu.*
Kulit ikan paus juga dimakan. Sementara minyaknya bisa untuk minyak goreng dan pengganti minyak tanah. Satu-satunya bagian yang sampai sekarang belum dimanfaatkan optimal adalah tulang ikan paus. Kebanyakan tulang ikan paus dibuang, bahkan ada yang menjadikannya pagar rumah.
Masyarakat Lamalera meyakini bahwa dengan menangkap ikan paus, dapat menghidupkan seluruh masyarakat Lamalera. Dengan ikan paus, masyarakat Lamalera dapat menyekolahkan anak-anak mereka hingga perguruan tinggi. Lebih dari itu, dalam nama kulit, darah, daging, dan minyak ikan paus, setiap orang di Lamalera dan sekitarnya bersatu.*
![]() |
| Proses Pembagian Hasil Tangkapan |
![]() |
| Rumah Perahu/Peledang |
Agar Tidak Tinggal Cerita (3)
NELAYAN Lamalera dikenal sebagai penangkap ikan paus yang tangguh. Mereka lebih memilih paus yang dalam bahasa Lamalera disebut Koteklema. Dalam ilmu perikanan, Koteklema sering disebut paus jenis sperm atau Physeter macrocephalus.
Nelayan
Lamalera tidak menikam paus jenis Seguni (Killer Whale atau orca) dan Klaru
(paus biru atau Balaenoptera musculus) yang juga lalu lalang di perairan Laut
Sawu, di depan perkampungan Lamalera. Jenis Klaru justru ditikam oleh nelayan Lamakera
di Pulau Solor.
Dari
literatur, Koteklema dikenal sangat kuat. Dia sanggup menyelam hingga lebih
1.000 meter. Ukuran tubuh dewasa mencapai 19 meter (jantan) dan 12 meter
(betina). Bobotnya mencapai 30 ton hingga 60 ton. Koteklema juga terkenal dengan
ganasnya. Tidak mengherankan, sebagaimana diungkap beberapa nelayan, ketika
ditikam Koteklema mengamuk membuat peledang terbalik.
"Kadang
nelayan pulang bawa dengan mayat," kata kepala Desa Lamalera A, Hendrikus
Keraf.
Namun, jika dibandingkan dengan Paus Biru, Koteklema kurang kuat. Paus biru dianggap sebagai binatang terbesar. Beratnya mencapai 130 ton -- hampir sama dengan 30 ekor gajah atau 1.600 manusia. Panjangnya bisa mencapai lebih dari 30 meter.
Namun, jika dibandingkan dengan Paus Biru, Koteklema kurang kuat. Paus biru dianggap sebagai binatang terbesar. Beratnya mencapai 130 ton -- hampir sama dengan 30 ekor gajah atau 1.600 manusia. Panjangnya bisa mencapai lebih dari 30 meter.
Meski
kadang bermigrasi sama-sama di Laut Sawu, nelayan Lamalera bisa membedakan paus
biru dengan Koteklema. Perbedaan terletak pada model semburannya. Kalau paus
biru semburannya lurus ke atas, sedangkan Koteklema tidak. Hal lainnya yang
membedakan adalah paus biru memiliki jumbai-jumbai rambut, sedangkan Koteklema
tidak.
Hendrikus
Keraf mengatakan, Paus Biru tidak boleh dibunuh karena menurut cerita orang
tua, dia penolong nenek moyang suku Soge Paga dari Kabupaten Sikka ke Lamalera.
"Klaru (Paus Biru) pengantar leluhur kami ke Lamalera. Sedangkan jenis Seguni
tidak dipilih karena Suku Ebonna di Lamalera tidak memakannya. Orang tua
meminta kami untuk tidak menangkap Klaru dan Seguni," kata Keraf.
Nelayan Lamalera juga bisa membedakan mana Koteklema betina dan jantan. Betina yang hamil, apalagi. Namun, itu hanya bisa dilakukan orang tua zaman dulu. Dengan demikian, Koteklema betina maupun betina yang hamil tidak boleh ditangkap.
Nelayan Lamalera juga bisa membedakan mana Koteklema betina dan jantan. Betina yang hamil, apalagi. Namun, itu hanya bisa dilakukan orang tua zaman dulu. Dengan demikian, Koteklema betina maupun betina yang hamil tidak boleh ditangkap.
Menurut
Keraf, generasi sekarang sangat sulit membedakan betina dan jantan, serta mana
betina yang sedang hamil, karena menikam saat ikan ada di dalam air. Untuk
membedakan jantan dan betina, orang tua melihat sirip atas.
"Sangat
sulit untuk membedakan paus yang jantan dan betina, begitu juga yang hamil atau
tidak. Kalau dulu zamannya nenek moyang bisa bedakan. Nelayan selalu dapat betina
dengan anaknya yang di dalam. Masalahnya, kita kurang mengenal," aku
Keraf.
Satu
hal yang masih bisa dikenali nelayan Lamalera generasi sekarang adalah
Koteklema betina yang sedang menyusui. Untuk kategori ini, tidak ditikam
nelayan. Karena, nelayan paham ikan yang sedang menyusui paling ganas.
Tentang
betina yang hamil tertangkap, diketahui pada Jumat (1/5/2009). Beberapa nelayan
menjaring ikan belelang, jenis ikan pari. Ternyata, setelah dibelah ada anak
pari. Meski dalam kondisi hidup, anak pari tidak dilepas. Karena, diyakini
membawa rezeki. "Ini rezeki. Kalau lepas maka perahu tidak tikam lagi.
Dari dulu orang tua tidak lepas," ujar Keraf.
Perlakuan
terhadap anak ikan, termasuk anak ikan pari, tidak sembarang. Seorang turis
yang sempat memegang ekor anak pari langsung ditegur. "Tidak boleh raba di
situ (ekor, Red). Dia ini tidak boleh diperlakukan sembarang. Diletakkan
sembarang juga tidak boleh. Keramat sekali. Begitu juga anak ikan paus,"
katanya.
Nah,
bagi nelayan Lamalera, pengetahuan tentang jenis ikan paus yang ditangkap dan
mana yang tidak ditangkap, sudah berlangsung lama, sama dengan mereka telah
melaksanakan konservasi secara alami. Makanya tidak heran jika mereka menolak
pelaksanaan konservasi dengan versi pemerintah dan LSM. Bagi masyarakat
Lamalera, konservasi yang dilaksanakan pemerintah dianggap sebagai upaya untuk
membatasi 'ruang gerak' nelayan.
Lebih
dari itu, konservasi dengan pelarangan penangkapan ikan paus sama saja dengan
menghentikan mata pencaharian masyarakat Lamalera. Sama dengan melarang
masyarakat Lamalera untuk berhubungan dengan nenek moyangnya karena ikan paus
diyakini sebagai nenek moyang yang menyerahkan dirinya untuk generasi sekarang.
Tidak
mengherankan ketika Agus Dermawan, Direktur Jenderal (Dirjen) Konservasi dan
Taman Laut Nasional pada Departemen Kelautan dan Perikanan, membuat pernyataan
tentang Konservasi di Zona II Laut Sawu (Lembata, Alor dan Solor), memicu
kemarahan masyarakat Lamalera.
Kemarahan semakin menjadi tatkala WWF (World Wildlife Fund) lewat orang-orangnya menginformasikan bahwa masyarakat Lamalera akan 'beralih profesi'.
Kemarahan semakin menjadi tatkala WWF (World Wildlife Fund) lewat orang-orangnya menginformasikan bahwa masyarakat Lamalera akan 'beralih profesi'.
"Kami
stop tangkap lalu suruh kerja lain. Kami tanam apa? Kami sekolahkan anak dari
ikan paus. Kami menolak konservasi," kata Stefanus Fotu.
"Penolakan
konservasi ini merupakan yang pertama di Indonesia," kata Maha Adi,
wartawan Majalah Tempo yang kini sedang studi pasca serjana bidang lingkungan,
saat berkunjung bersama saya di Lamalera. Maha Adi kini menjadi staf Tim
Pengkajian dan Penetapan Kawasan Konservasi Laut (Tim PP KKL) Laut Sawu - Solor
- Lembata - Alor (SOLAR).
Karena
reaksi penolakan terus muncul, dalam perjalanan Depertemen Kelautan dan
Perikanan (DKP) 'melunak'. Agus Dermawan menyatakan Deklarasi Kawasan
Konservasi Perairan Nasional (KKPN) Laut Sawu di Word Ocean Conference (WOC)
bulan Mei 2009 tidak memasukkan perairan Laut Lambata dan sekitarnya sehingga
KKPN Laut Sawu hanya mencakup perairan Selat Sumba dan sekitarnya, serta
wilayah perairan Pulau Sabu, Rote, Timor, Batek dan sekitarnya seluas 3,5 juta
hektar.
Keputusan
ini permanen? Jangan-jangan taktik DKP untuk meredam emosi masyarakat saat
menjelang penyelenggaraan Word Ocean Conference (WOC) di Manado. Terbesit ada
kekhawatiran Indonesia tidak mau kehilangan muka di hadapan peserta WOC dari
luar negeri hanya karena penolakan.
Dugaan ini beralasan, apalagi jauh sebelumnya, KKPN Laut Sawu sudah ditetapkan dan menjadi satu kesatuan, termasuk perairan Solor, Lembata, Alor dan Rote (SOLAR).
Dugaan ini beralasan, apalagi jauh sebelumnya, KKPN Laut Sawu sudah ditetapkan dan menjadi satu kesatuan, termasuk perairan Solor, Lembata, Alor dan Rote (SOLAR).
Terkait
dengan konservasi ini, memang penting untuk memberikan pengertian kepada
masyarakat untuk melestarikan paus. Masyarakat perlu diingatkan untuk
mewaspadai masa paceklik paus. Jangan sampai budaya memburu paus ini nanti
hanya akan tinggal cerita. Sebalikya, pemerintah juga dingatkan bukan karena
atas nama konservasi lantas menghilangkan tradisi menangkap ikan paus oleh
nelayan Lamalera.
Persoalan ini mesti dilihat secara arif dan bijaksana. MUngkin, salah satu solusi yang bisa ditawarkan adalah membolehkan nelayan Lamalera menangkap ikan paus tapi jumlah tangkapan setiap tahun harus dibatasi. Untuk hal ini, pemerintah melalui pihak terkait, termasuk Tim Konservasi Laut Sawu harus bisa memastikan berapa banyak Koteklema yang bermigrasi di laut Sawu dalam satu musim. Dari data ini, disarankan berapa yang ditangkap nelayan. Beriktunya, yang ditangkap adalah koteklema jantan, bukan betina atau yang sedang menyusui.
Persoalan ini mesti dilihat secara arif dan bijaksana. MUngkin, salah satu solusi yang bisa ditawarkan adalah membolehkan nelayan Lamalera menangkap ikan paus tapi jumlah tangkapan setiap tahun harus dibatasi. Untuk hal ini, pemerintah melalui pihak terkait, termasuk Tim Konservasi Laut Sawu harus bisa memastikan berapa banyak Koteklema yang bermigrasi di laut Sawu dalam satu musim. Dari data ini, disarankan berapa yang ditangkap nelayan. Beriktunya, yang ditangkap adalah koteklema jantan, bukan betina atau yang sedang menyusui.
Kotaro
Kojima, orang Jepang yang mendalami tentang tradisi penagkapan ikan paus,
mengatakan, "Memang laut harus konservasi. Tidak boleh sembarang dan
seenaknya. Tapi Lamalera itu warisan kebudayaan manusia. Jadi, tradisi ini
tidak boleh hilang." (pk edisi 1, 2, 3 juni 2009, hal 1)
(Trimakasih Om Alfon yang sudah berbagi info)
Klik juga : DISINI





Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusmari segera bergabung dengan kami.....
BalasHapusdi ajoqq.club...
segera di add black.berry pin 58CD292C.
WwW-AJoQQ.club| bonus rollingan 0,3% | bonus referral 20% | minimal deposit 15000
Promo Fans^^poker :
BalasHapus- Bonus Freechips 5.000 - 10.000 setiap hari (1 hari dibagikan 1 kali) hanya dengan minimal deposit 50.000 dan minimal deposit 100.000 ke atas
- Bonus Cashback 0.5% dibagikan Setiap Senin
- Bonus Referal 20% Seumur Hidup dibagikan Setiap Kamis